Merupakan tradisi budaya dari daerah Tulungagung. Pada tahun 2010, keberadaan
tradisi budaya Manten Kucing Manten Kucing difestivalkan dalam rangka
memperingati Hari Jadi Tulungagung ke-805. Festival Manten Kucing tersebut
di-ikuti 19 (Sembilan belas) kecamatan yang ada di Kabupaten Tulungagung. Acara
tersebut dilaksanakan pada hari kamis, 25 November 2010, kegiatan festival
Manten Kucing tersebut berpusat di kawasan Kota Tulungagung.
Festival tersebut baru
pertama kalinya diadakan di Kabupaten Tulungagung, hal itu untuk memperkenalkan
kepada generasi muda, bahwasanya Manten Kucing adalah tradisi budaya khas
Tulungagung. Tradisi Manten Kucing biasanya diadakan di Desa Pelem, Kecamatan
Campurdarat tersebut merupakan upacara tradisi untuk meminta diturunkan hujan.
Uniknya di festival
tersebut terdapat kolaborasi antara Manten Kucing dengan kesenian lain, antara
Manten Kucing dengan Reog Gendang, Jaranan Jawa dan Hadrah (sholawatan).
Sehingga kolaborasi tersebut mendapat sambuatan hangat dari masyarakat, begitu
pula para pelajar saat festival itu juga ikut serta menonton. Secara tidak
langsung akan menumbuhkan pengetahuan, pemahaman serta mengenali asset budaya
tradisi Manten Kucing.
Dalam satu sisi,
diadakannya festival Manten Kucing ini memang baik untuk memperkenalkan asset
wisata budaya daerah. Namun disisi lain, kesakralan upacara Manten Kucing
didalam festival tersebut sudah tidak terasa kesakralannya lagi. Sebab budaya
sudah menjadi tontonan, bukan lagi tuntunan.
Penulis merasakan
kesakralan upacara Manten Kucing saat mengikuti prosesi upacara di Desa Pelem,
Kecamatan Campurdarat. Sehingga simpulan sederhana adalah kita harus mampu
untuk memilah-milah didalam mengembangkan dan memberdayakan asset wisata
daerah, agar nilai-nilai dan pesan moralnya tidak hilang, bukan hanya sekedar
hiburan.
Pergeseran nilai yang
sangat mengkhawatirkan tersebut dapat kita lihat jelas, karena menggejala
secara mencolok di sekitar kita, yang antara lain adalah; (1). Nilai moral
lebih murah daripada nilai materi; (2). Tuhan terasa jauh dan uang terasa
dekat; (3). Produk-produk budaya asing lebih digandrungi daripada produk-produk
budaya sendiri; (4). Kepentingan agama, politik, dan ekonomi dicampuradukan,
sehingga batas-batasannya menjadi jelas; (5). Kekerasan sering digunakan untuk
menyelesaikan perbagai persoalan dalam masyarakat (Ayu Sutarta, 2004:173).
Sehingga untuk
Ndudhuk, Ndhudhah dan Nggugah asset budaya daerah harus memiliki konsep yang
matang. Mengembangkan dan memberdayakan asset budaya daerah tidak harus
mengorbankan unsur nilai-nilai positif yang sudah ada. Dari dulu hingga
sekarang, budaya adalah pembelajaran yang konkrit dan fleksibel.
No comments:
Post a Comment